Pasal Pencemaran Nama Baik Dan Berita Bohong Dihapus

Pasal Pencemaran Nama Baik Dan Berita Bohong Dihapus

KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berharap agar aparat penegak hukum mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam penanganan kasus-kasus dugaan kriminalisasi atas kebebasan berpendapat. Seperti diberitakan, MK mengabulkan sebagian gugatan konstitusional terkait pasal pencemaran nama baik dan berita bohong.

MK menghapus Pasal 14 dan 15 Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Pengaturan Hukum Pidana yang mengatur ancaman pidana bagi penyebar berita bohong alias hoaks untuk menyebabkan keonaran. Hal itu ditegaskan MK dalam putusan Perkara Nomor 78/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan oleh aktivis Haris Azhar, Fatia Maulidiyanty, Yayasan Lempasalbaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, mengatakan dengan adanya putusan MK, diharapkan kriminalisasi terhadap mereka yang menggunakan hak kebebasan berekspresi dan berpendapat, tidak terulang.

Baca juga : MK Hapus Pasal Hoaks, Komnas HAM: Semua Kasus Kriminalisasi Karena Kebebasan Berpendapat Harus Dihentikan

"Agar proses hukum terhadap kasus kriminalisasi serupa yang masih berlangsung, dapat dihentikan," ujar Atnike melalui keterangan tertulis yang diterima, Sabtu (23/3).

Atnike menuturkan kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan satu aspek penting dari demokrasi. Negara yang demokratis, ujarnya, dicerminkan dengan adanya perlindungan terhadap kebebasan berkumpul, mengemukakan pendapat dan diskusi yang terbuka. Oleh karena itu, kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan hak dan kebebasan dasar.

Putusan MK dinilai sejalan dengan UUD 1945. Atnike menuturkan Pasal 28 F UUD 1945, telah jelas dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia."

Baca juga : MK Hapus Pasal Hoaks dan Pencemaran Nama Baik, Ini Kata Polri

"Dalam hal ini, Komnas HAM menyampaikan apresiasi kepada Mahkamah Konstitusi yang telah mengabulkan sebagian permohonan uji materi sejumlah pasal," tuturnya.

Ia mengungkapkan Komnas HAM banyak menerima pengaduan terkait kriminalisasi kebebasan berekspresi dan berpendapat. Selama periode Januari 2020 sampai dengan Februari 2024, ujarnya, terdapat 73 (tujuh puluh tiga) aduan dan 11 (sebelas) aduan terkait kasus dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan kriminalisasi akibat tuduhan pencemaran nama baik.

Kasus yang masuk antara lain, kasus kriminalisasi karena tuduhan pencemaran nama baik akibat mengkritik sistem antara lain perekrutan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di sebuah universitas di Banda Aceh, kasus kriminalisasi akibat tuduhan pencemaran nama baik atas sebuah klinik di Surabaya, dan kriminalisasi dan intimidasi serta pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi terhadap seorang timses salah satu calon presiden.

Baca juga : MK Hapus Pasal Sebar Hoaks, ICJR Minta juga di UU ITE

"Komnas HAM berkomitmen akan terus mengawal kasus-kasus serupa dalam rangka penegakan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia," ujarnya.

Fatia dan Haris sempat menjalani persidangan terkait dugaan pidana pencemaran nama baik. Keduanya dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi yang diajukan Haris Azhar, Fatia Maulidyanti, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

MK mengabulkan gugatan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang 1 Tahun 1946 dan Pasal 310 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP. Namun, MK menolak gugatan untuk Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) UU ITE.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Dalil-dalil para pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 serta Pasal 310 ayat (1) KUHP adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan uji materiil di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6, Jakarta Pusat, pada Kamis, 21 Maret 2024.

Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi, berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum, ternyata ketentuan norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 serta Pasal 310 ayat (1) KUHP tidak memberikan pengakuan, jaminan, perindungan, dan kepastian hukum yang adil.

Selain kepastian hukum yang tak adil, kata hakim Enny Nurbaningsih, pasal-pasal itu juga tidak memberikan perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi setiap warga negara. "Sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945," tutur Enny saat membacakan pertimbangan putusan tersebut.

Berikut putusan Mahkamah Konstitusi:

Adapun Pasal 14 UU 1/146 berbunyi:

(1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya sepuluh tahun.

(2) Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.

Pasal 15 UU 1/1946 berbunyi:

Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya dua tahun.

(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

return generate_breadcrumb();

Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej (tengah) saat menghadiri rapat di DPR, Senayan.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengungkapkan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menghapus pasal pencemaran nama baik di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ia mengatakan pasal penghinaan dalam UU ITE dihapus agar tidak menyebabkan disparitas.

"RKUHP ini menghapus pasal-pasal pencemaran nama baik dan penghinaan yang ada di dalam UU ITE," kata Wamenkumham usai menghadiri Rapat RKUHP dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (28/11/2022).

Ia melanjutkan, penghapusan dua pasal itu akan menekan potensi penafsiran berbeda di kalangan penegak hukum. Selain itu, ia menilai penghapusan pasal itu menjadi kabar baik bagi iklim demokrasi dan kebebasan berekspresi.

"Keputusan ini dibuat setelah mendengar masukan masyarakat, karena aparat penegak hukum sering kali menggunakan UU ITE untuk melakukan penangkapan dan penahanan," jelas Wamenkumham.

Kendati masih mencantumkan ancaman pidana terkait penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga kepresidenan, RKUHP telah memberi batas jelas antara penghinaan dan kritik. Ia juga menambahkan agar tidak terjadi disparitas maka ketentuan di dalam UU ITE dimasukkan ke RKUHP dengan penyesuaian-penyesuaian.

"Untuk tidak terjadi disparitas dan gap, maka ketentuan di dalam UU ITE kami masukkan ke RKUHP tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian yang dengan sendirinya mencabut ketentuan pidana khususnya Pasal 27 dan 28 yang ada dalam UU ITE," jelas Wamenkumham.

Sebelumnya, pemerintah dan DPR menyepakati RKUHP dalam pembahasan tingkat I. RKUHP akan dibawa ke sidang paripurna DPR untuk dibahas pada tingkat II dan disahkan. [*]

Pasal Pencemaran Nama Baik

Pasal Pencemaran Nama Baik

Bersosialisasi di era digital baik melalui sosial media seperti facebook, instagram, twitter ataupun melalui aplikasi percakapan instan seperti whatsapp harus memperhatian etika dan norma.

Jika anda melakukan postingan yang merugikan orang lain, baik distatus anda ataupun melalui postingan anda, maka yang bersangkutan dapat melakukan pelaporan pencemaran nama baik yang bisa berujung pidana.

Hal yang paling lazim ditemui adalah penghinaan ataupun penistaan terhadap sebuah individu ataupun organisasi. Ada juga ditemukan kasus penghinaan kepada sebuah instansi ataupun perusahaan. Tentu saja jika pihak yang anda hina tersebut merasa keberatan, maka anda akan dilaporkan ke pihak berwajib dan anda akan dikenakan Pasal Pencemaran Nama Baik

Ketentuan pasal pasal KUHP yang mengatur pencemaran nama baik sebelum adanya media sosial diatur dalam beberapa pasal, yaitu :

1. Pasal 310 KUH Pidana, yang berbunyi : (1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-“. (2) Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-.

2. Pasal 315 KUHP, yang berbunyi “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Tetapi kini, Setelah adanya internet maka diatur dalam ketentuan Undang-undang ITE, maka Pasal Pencemaran Nama Baik yaitu :

Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang berbunyi : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”, Pasal 45 UU ITE, yang berbunyi : (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Bahwa pencemaran nama baik, yang secara langsung maupun melalui media sosial / internet adalah sama merupakan delik aduan, yaitu delik yang hanya dapat diproses oleh pihak kepolisian jika ada pengaduan dari korban. Tanpa adanya pengaduan, maka kepolisian tidak bisa melakukan penyidikan atas kasus tersebut.

Sedangkan untuk delik aduan sendiri berdasarkan ketentuan pasal 74 KUHP, hanya bisa diadukan kepada penyidik dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak peristiwa tersebut terjadi. Artinya setelah lewat jangka waktu 6 (enam) bulan, kasus pencemaran nama baik secara langsung maupun melalui media sosial / internet tidak lagi bisa dilakukan penyidikan. Oleh karenanya bagi anda yang merasa dicemarkan nama baiknya baik secara langsung maupun melalui media sosial internet harus mengadukannya dalam jangka waktu tersebut.

Selain itu suatu kalimat atau kata-kata yang bernada menghina atau mencemarkan nama baik, supaya bisa dijerat pidana harus memenuhi unsur dimuka umum, artinya jika dilakukan secara langsung harus dihadapan dua orang atau lebih, dan jika melalui media sosial harus dilakukan ditempat yang bisa dilhat banyaka orang semisal wall facebook, posting group, dan lain sebagainya.

Kalimat hinaan yang dikirim langsung ke inbox atau chat langsung tidak bisa masuk kategori penghinaan atau pencemaran nama baik, karena unsur diketahui umum tidak terpenuhi.

Keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Demikian salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara No. 50/PUU-VI/2008 atas judicial review pasal 27 ayat (3) UU ITE terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa nama baik dan kehormatan seseorang patut dilindungi oleh hukum yang berlaku, sehingga Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak melanggar nilai-nilai demokrasi, hak azasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah Konstitusional.

Bila dicermati isi Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE tampak sederhana bila dibandingkan dengan pasal-pasal penghinaan dalam KUHP yang lebih rinci. Oleh karena itu, penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus merujuk pada pasal-pasal penghinaan dalam KUHP. Misalnya, dalam UU ITE tidak terdapat pengertian tentang pencemaran nama baik. Dengan merujuk Pasal 310 ayat (1) KUHP, pencemaran nama baik diartikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum.

Terkait pasal pencemaran nama baik, KUHP menerangkan bahwa ada 6 bentuk dan hukuman pencemaran nama baik. Berikut ulasannya.

Merujuk Pasal 310 ayat (1) KUHP, pasal pencemaran nama baik adalah perbuatan dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan suatu hal dengan maksud agar hal tersebut diketahui oleh umum, dan pelakunya diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 bulan dan denda Rp4,5 juta.

Sementara itu, dalam KUHP Baru, pasal pencemaran diatur dalam Pasal 433 UU 1/2023 yang menerangkan bahwa setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II (Rp10 juta).

Bentuk Pencemaran Nama Baik dalam KUHP dan Pidananya

R Soesilo dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menerangkan bahwa ada enam bentuk hukum pencemaran nama baik yang dimuat dalam KUHP sebagai berikut.

Bentuk pertama adalah penistaan. Adapun yang dimaksud dengan penistaan adalah pencemaran nama baik berupa penghinaan dengan cara menistakan atau menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu dengan maksud agar tuduhan tersebut tersiar. Perbuatan yang dituduhkan tidak harus berupa perbuatan pidana, cukup dengan perbuatan biasa yang mana merupakan suatu perbuatan yang memalukan.

Bentuk kedua adalah penistaan dengan surat. Adapun maknanya adalah apabila perbuatan penistaan tersebut dilakukan dengan media tulisan surat atau gambar.

Tindakan penistaan atau penistaan dengan surat bisa tidak dituduhkan sebagai tindak pidana apabila tindakan tersebut dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri. Dalam konteks ini, hakim akan mengadakan pemeriksaan; apakah betul untuk membela diri atau penghinaan.

Jika dalam pemeriksaannya apa yang dituduhkan terdakwa tidak benar, terdakwa tidak lagi dapat dikategorikan sebagai perbuatan menista. Namun, dikenakan tindak pidana fitnah.

Indonesia–Mahkamah Konstitusi RI membatalkan pasal berita bohong yang menimbulkan keonaran, Pasal 14 dan Pasal 15 pada UU No 1 Tahun 1946 dan Pasal 310 ayat (1) tentang pencemaran nama baik yang diatur dalam Kitab Undang-uang Hukum Pidana.

Pasal-pasal tersebut menurut hakim Mahkamah Konstitusi tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi setiap warga negara sebagaimana dijamin dalam Konstitusi Indonesia.

Putusan tersebut dibacakan hakim Mahkamah Konstitusi pada Kamis 21 Maret 2024. Gugatan judicial review itu diajukan oleh dua pembela hak asasi manusia, Haris Azhar dan Fatiah Maulidiyanti, serta dua organisasi yakni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Khusus mengenai pasal berita bohong, menurut hakim Konstitusi, pasal tersebut ambigu karena tidak memiliki parameter yang jelas sehingga dapat membatasi hak setiap orang untuk berpendapat. Penggunaan kata keonaran dalam pasal itu juga berpotensi menimbulkan multitafsir karena antara kegemparan, kerusuhan, dan keributan memiliki gradasi yang berbeda-beda.

Definisi berita bohong yang tidak jelas tolok ukuran,  berpotensi dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk memidana pelaku tanpa mengidentifikasi apakah pelaku menyebarkan berita palsu dengan sengaja atau dalam konteks memberikan kritik yang bersifat konstruktif.

“Dengan demikian, masyarakat tidak lagi memiliki kebebasan untuk berpendapat sebagai bentuk partisipasi publik dalam kehidupan berdemokrasi,” kata hakim Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi juga menilai sesuai Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Prinsip-prinsip Siracusa, pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi hak asasi dan harus ditafsirkan secara tegas dan jelas serta ditujukan untuk menjamin perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM.

Judicial Review itu diajukan setelah Haris Azhar dan Fatia Maulidayanti, dua penggiat hak asasi manusia, dikriminalisasi dengan pasal pencemaran nama baik dan pasal berita bohong. Mereka dilaporkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan (LBP), setelah keduanya menyampaikan hasil riset dugaan kepemilikan saham milik Menteri Luhut pada bisnis tambang di Intan Jaya, Papua lewat siaran podcast di Youtube. Keduanya telah divonis bebas di Pengadilan tingkat pertama di Jakarta.

Pasal berita bohong dan pencemaran nama baik selama ini menjadi ancaman bagi kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Pasal-pasal itu telah disalahgunakan untuk mengkriminalisasi penggiat hak asasi manusia, jurnalis, dan kritik lainnya. Diolah dari data SAFEnet sejak 2020-2023, terdapat 32 kasus pasal berita bohong dan 14  kasus Pasal 310 KUHP.

Pasal berita bohong mulai digunakan pada Pemilu 2019 dan makin marak pada tahun 2020, saat pandemi Covid-19.

Salah satu kasus penyalahgunaan pasal berita bohong telah menjerat 3 petani Pakel di Banyuwangi, Jawa Timur yakni Suwarno, Mulyadi, dan Untung pada 2023. Ketiganya dipenjara dan divonis bersalah dengan dalil menyebarkan berita bohong setelah berjuang mempertahankan tanahnya dari korporasi.

Ketua Umum AJI indonesia Sasmito, mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sangat penting bagi kebebasan pers sehingga AJI terlibat dalam gugatan tersebut. AJI Indonesia mencatat terdapat 4 jurnalis yang pernah dijerat oleh polisi dan jaksa penuntut umum dengan mengaitkan pasal UU Informasi dan Transaksi Elektronik dengan pasal berita bohong.

Setelah Pemilu 2019, pasal berita bohong makin sering digunakan oleh pejabat publik dan menjadi cara baru merepresi warga di era digital. Pasal itu memuat hukuman penjara 10 tahun bagi siapa pun yang kritik dan beritanya dianggap sebagai hoaks.

“Dengan dalih melawan berita bohong, aktor negara dan aktor non-negara  menyalahgunakan pasal tersebut untuk merepresi kritik di ruang digital. Padahal pasal berita bohong di UU Nomor 1 Tahun 1946 itu lahir satu tahun setelah Indonesia merdeka yang saat itu tentu saja belum ada internet,” kata Sasmito.

Dengan dihapusnya pasal berita bohong dan defamasi di peraturan pidana tersebut, Sasmito mendesak agar DPR RI dan pemerintah mencabut pasal-pasal sejenis yang diadopsi ke dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik perubahan kedua serta KUHP baru yang akan berlaku pada 2026.  Sasmito mengatakan masalah berita bohong seharusnya diselesaikan dengan mengintensifkan literasi digital ke dalam pendidikan, mendorong platform media sosial meningkatkan moderasi konten, menjamin akses informasi yang transparan, dan meningkatkan kualitas jurnalisme.

Selain itu terkait defamasi, sudah seharusnya pemerintah Indonesia melakukan dekriminalinalisasi seperti yang telah dilakukan di 50 negara.

Menurut salah satu kuasa hukum Pemohon, Feri Amsari dari Themis Indonesia, Putusan MK kali ini patut diapresiasi sebagai upaya menegakkan jaminan kebebasan menyampaikan dan mengelola informasi melalui berbagai media yang digunakan masyarakat sebagaimana dijamin Pasal 28F UUD 1945. Sehingga menurut Feri segala kasus kriminalisasi warga negara yang menggunakan ketentuan Pasal 14 dan 15 dari UU Nomor 1 Tahun 1946 harus dibatalkan dan tidak boleh lagi digunakan aparat penegak hukum.  “Ketidakpatuhan terhadap Putusan MK adalah tindakan melawan konstitusi,” kata Feri.

Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Delpedro Marhaen mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan sedikit harapan terkait perlindungan terhadap kebebasan sipil di Indonesia. Putusan tersebut seharusnya menjadi preseden dan pertimbangan bagi Mahkamah Konstitusi ke depan untuk membatalkan pasal-pasal ambigu yang masih terdapat dalam KUHP Baru dan UU ITE terbaru, jika diuji di masa mendatang.

Keputusan ini juga perlu dijadikan landasan pemikiran bagi hakim di peradilan umum dan aparat penegak hukum bahwa pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong tidak boleh digunakan sebagai alat untuk menekan kritik yang disampaikan oleh masyarakat.

Berikut ini adalah jurnalis yang pernah dijerat dengan pasal berita bohong:

Anggota AJI, pendiri WatchdoC dan sutradara film dokumenter Dirty Vote, Dandhy Dwi Laksono, pernah ditangkap dan menjadi tersangka setelah menyampaikan informasi mengenai aksi anti rasisme di Papua di Twitter pada 22 September 2019. Ia dijerat dengan pasal ujaran kebencian Pasal 28 ayat (2), jo Pasal 45 A ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau Pasal 14 dan Pasal 15 No.1 tahun 1946 tentang hukum pidana.

Sumber: https://news.detik.com/berita/d-4723837/ini-cuitan-soal-papua-yang-bikin-dandhy-laksono-jadi-tersangka

Setelah menyampai kritik tentang koperasi dan UMKM lewat Twitter pada 2020, jurnalis Farid Gaban pernah dilaporkan oleh Ketua Umum Cyber Indonesia Muannas Alaidid. Muannas menjerat Farid dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE atau Pasal 207 KUHP dan/atau Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.

Sumber: https://tirto.id/kasus-farid-gaban-pemberangusan-kritik-warga-negara-fDED

Jurnalis berita.news di Palopo, Sulawesi Selatan, Muhammad Asrul dilaporkan setelah menulis tiga berita tentang dugaan korupsi pada 2019. JPU mendakwa Asrul dengan dakwaan berlapis yakni: menyiarkan berita bohong dengan Pasal 14 ayat (1) UU RI No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Tindak Pidana ujaran kebencian Pasal 28 ayat (2)  atau Tindak Pidana Penghinaan dan/atau pencemaran nama baik Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat 3 UU ITE.

Asrul kemudian divonis bersalah melanggar Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan dijatuhi hukum 3 bulan penjara.

Sumber: https://lbhmakassar.org/press-release/jurnalis-muhammad-asrul-didakwa-karena-berita-ancaman-serius-bagi-kebebasan-pers-dan-demokrasi/

Muhammad Irvan S, jurnalis Timurterkini.com ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sulawesi Tenggara, pada 9 Mei 2022 setelah menulis tentang pajak seorang pengusaha. Polisi menjerat Irvan dengan Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang Undang No.1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, serta pasal 45 ayat (3) Jo. Pasal 27 ayat (3) terkait penghinaan dan/atau pencemaran nama baik pada UU ITE.

Sumber: https://advokasi.aji.or.id/read/data-kekerasan/2096.html?y=2022&m=1&ye=2022&me=12&jenis=Penuntutan%20Hukum

Seiring berjalannya waktu, interpretasi hukum terkait pencemaran nama baik telah mengalami perkembangan signifikan. Mahkamah Konstitusi (MK) telah beberapa kali mengeluarkan putusan yang memberikan tafsir baru terhadap pasal-pasal pencemaran nama baik, terutama yang diatur dalam UU ITE.

Salah satu putusan penting adalah Putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008, yang menyatakan bahwa pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE harus ditafsirkan dalam konteks yang sama dengan ketentuan serupa dalam KUHP. Ini berarti bahwa unsur "di muka umum" harus terpenuhi, dan pasal tersebut merupakan delik aduan, bukan delik biasa.

Lebih lanjut, Putusan MK Nomor 78/PUU-XXI/2023 memberikan penafsiran baru terhadap Pasal 310 ayat (1) KUHP. Mahkamah menyatakan bahwa pasal tersebut inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai mencakup perbuatan "dengan cara lisan". Putusan ini bertujuan untuk menyesuaikan ketentuan KUHP dengan perkembangan dalam KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) yang akan berlaku pada tahun 2026.

Perkembangan interpretasi hukum ini menunjukkan upaya untuk menyeimbangkan perlindungan terhadap kehormatan individu dengan jaminan kebebasan berekspresi yang merupakan hak fundamental dalam masyarakat demokratis.

Terkait pasal pencemaran nama baik, KUHP menerangkan bahwa ada 6 bentuk dan hukuman pencemaran nama baik. Berikut ulasannya.

Pasal pencemaran nama baik bukan hal yang sepele. Tindak pidana ini menimbulkan kerugian bagi korbannya. Dalam KUHP dan UU 1/2023 atau KUHP Baru dimuat ketentuan serta sanksi dari pelanggaran penghinaan atau pencemaran nama baik. Kemudian, jika dilakukan melalui media sosial atau hal yang berhubungan dengan transmisi elektronik, pelakunya dapat dijerat dengan UU ITE.

Definisi Pencemaran Nama Baik

Negara menjamin sejumlah hak asasi manusia terhadap semua warga negara, tidak terkecuali hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Namun, demi menjamin bahwa tidak ada persinggungan di antara kebebasan itu, diaturlah sebuah batasan. Salah satu batasan dalam berkomunikasi yang diterapkan adalah tidak boleh ada penghinaan atau pencemaran nama baik.

Penghinaan dan pencemaran nama baik akan mempengaruhi reputasi atau citra seseorang. Dewasa ini, reputasi bukan semata soal baik dan buruknya seseorang dalam tatanan bermasyarakat, namun juga mempengaruhi banyak hal.

Misalnya, mempengaruhi kondisi ekonomi, reputasi yang buruk bisa menghancurkan bisnis; mempengaruhi posisi atau jabatannya, reputasi yang buruk membuat seseorang dianggap tidak layak menempati suatu jabatan tertentu; mempengaruhi profesi seseorang, reputasi yang buruk bisa membuat seseorang kehilangan profesinya, misalnya dokter.